Refleksi Akhir Tahun 2022: Semoga Kita Tidak Lupa

Oleh: I Made Bram Sarjana*

Perekonomian Bali, tidak terbantahkan lagi amat bergantung pada industri pariwisata. Industri pariwisata telah mendorong perubahan besar terhadap perekonomian daerah Bali, dari sebelumnya berbasis pada ekonomi agraris hingga era tahun 1970-an, menjadi ekonomi berbasis jasa pariwisata mulai era tahun 1980-an hingga saat ini. Perubahan besar ini terjadi karena Bali melompati fase dari ekonomi berbasis sektor primer langsung menjadi perekonomian berbasis sektor tersier, tanpa sempat menjalani fase ekonomi berbasis sektor sekunder.

Hal ini wajar saja mengingat pariwisata menjadi potensi yang dimiliki Bali, dan amat strategis digunakan untuk mendorong percepatan kemajuan pembangunan daerah. Industri pariwisata juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri manufaktur, karena dampak lingkungannya yang relatif lebih kecil bila dibandingkan industri manufaktur. Selain itu, telah menjadi rumusan umum bahwa kemajuan ekonomi akan mengalami percepatan pertumbuhan apabila melalui proses industrialisasi, yang dapat meningkatkan nilai tambah dari produk-produk yang dihasilkan.

Permasalahan yang muncul adalah ketika pariwisata yang tumbuh dan berkembang demikian pesat, meninggalkan sektor-sektor ekonomi lainnya yang pada dasarnya juga menjadi potensi ekonomi Bali, yaitu pertanian dan kerajinan. Ketika nilai tambah yang dihasilkan oleh industri pariwisata tumbuh berlipat ganda, nilai tambah yang dihasilkan pertanian dan kerajinan masih jauh tertinggal. Ketertinggalan terjadi karena proses industrilisasi atau hilirisasi pada sektor pertanian dan kerajinan tidak semasif sektor pariwisata.

Di sisi lain, pariwisata tergolong industri yang amat rentan. Isu gangguan kesehatan, gangguan keamanan, bencana alam, dengan seketika dapat menganggu kinerja pariwisata. Hal ini telah ditunjukkan ketika terjadi Perang Teluk tahun 1991, dampaknya terasa hingga ke Bali. Demikian pula ketika terjadi di tahun 2000, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali terganggu. Selanjutnya adalah Bom Bali tahun 2002 dan tahun 2005, terjadi eksodus wisatawan ke luar Bali. Bencana alam erupsi Gunung Agung tahun 2017, juga berdampak pada terhambatnya kedatangan wisatawan akibat ruang udara tertutup abu vulkanik. Berikutnya adalah pandemi Covid-19 yang dampaknya mulai dirasakan pada Maret 2020, merupakan pukulan yang terdahsyat dari berbagai pukulan sebelumnya.

Ketika pandemi terjadi, industri pariwisata Bali benar-benar terpuruk, sehingga wacana pentingnya penguatan sektor ekonomi lainnya kembali muncul. Harapannya adalah agar mesin pertumbuhan ekonomi Bali menjadi semakin banyak, tidak hanya bergantung pada satu mesin pertumbuhan, yaitu industri pariwisata. Persoalannya adalah bagaimana ide dan wacana tersebut dapat diterjemahkan ke dalam aksi nyata melalui dukungan kebijakan pembangunan dan penganggaran yang mendukung revitalisasi sektor pertanian dalam arti luas maupun industri kerajinan termasuk UMKM Bali. Mencetak petani-petani baru dari generasi muda, tidaklah mudah. Mencetak lahan pertanian baru, tidak mungkin karena lahan yang sempit dan terbatas. Mendorong industri kerajinan dengan cepat pun tidak mudah, karena masih banyak bahan bakunya yang perlu dipasok dari daerah lain. Oleh sebab itu, transformasi ekonomi Bali dari hanya bergantung pada industri pariwisata menjadi terdiversifikasi pada sektor-sektor lainnya membutuhkan perencanaan yang komprehensif dan holistik, serta konsistensi dalam pelaksanaan. Dukungan teknologi teknologi digital dan teknologi tepat guna akan menjadi amat penting untuk mendorong percepatan transformasi ekonomi ini.

Memasuki pertengahan hingga akhir tahun 2022 ini, kita patut bersyukur karena pariwisata telah kembali bergeliat seiring dengan terkendalinya pandemi dan vaksinasi yang meluas. Keberhasilan penyelenggaraan KTT G-20, dari sisi pariwisata membawa angin segar dan harapan, bahwa perekonomian Bali akan dapat segera bangkit. Memasuki libur Natal dan tahun baru, kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke Bali mengalami peningkatan drastis dibandingkan periode yang sama tahun 2020 dan 2021 yang lalu. Harapan segera bangkitnya perekonomian ini terjadi di tengah bayang-bayang ancaman terjadinya resesi global pada tahun 2023 dan eskalasi pandemi Covid-19 di Tiongkok. Oleh sebab itu, kewaspadaan masih tetap penting, terlalu dini untuk menganggap perekonomian Bali dan pariwisata segera pulih. Perkembangan terkini yang terjadi juga perlu menjadi sinyal bahwa jangan terlalu terlena dengan pariwisata. Pemulihan pariwisata tentu saja amat penting, karena dalam jangka pendek dan menengah, kontribusinya masih amat besar terhadap perekonomian Bali.

Semoga kita tidak lupa, bahwa terdapat sektor ekonomi lainnya yang juga dapat menopang perekonomian Bali, yaitu pertanian dalam arti luas dan industri kerajinan. Penguatan dua sektor itu termasuk sektor-sektor lainnya yang dimiliki Bali, tidak bisa dilakukan dengan cara lama dan biasa-biasa saja. Penguatan pertanian dan industri kerajinan membutuhkan dukungan teknologi tepat guna dan teknologi digital, serta Sumber Daya Manusia (SDM) di kalangan generasi baru, yang proses penguatannya membutuhkan upaya yang revolusioner. Diperlukan dukungan infrastruktur dan suprastruktur yang menunjang, serta semacam “gerakan kebudayaan“ membangun mind set di kalangan generasi muda untuk menekuni berbagai sektor ekonomi lainnya, tidak hanya berfokus pada pariwisata.

Sekali lagi, semoga kita tidak lupa bahwa dalam menyongsong tahun 2023 yang masih penuh dengan resiko dan ketidakpastian, berbagai strategi pembangunan baru amat diperlukan agar Bali tidak terus-menerus hanya bergantung pada satu sumber pertumbuhan ekonomi, yaitu pariwisata.

 

*Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Penelitian Kabupaten Badung